Halaman

Jumat, 18 Maret 2016

'Api Kecil' di Balik Spidol

Saat itu saya duduk di bangku SMA kelas 2 di Yogyakarta. Karena merasa cukup terseok-seok di beberapa mata pelajaran, saya mengikuti les di salah satu bimbingan belajar. Di pelajaran kimia, tentor yang mengajar senang sekali memberi soal untuk dikerjakan siswa di papan tulis. Dan entah mengapa saya suka menawaran diri untuk mengerjakan di papan tulis. Bukan karena saya bisa mengerjakan, tapi karena saya suka pegang spidol dan menulis di papan white board.

"Kamu kok suka banget maju (mengerjakan soal)?" tanya Sang Tentor seraya mengamati. Dan saya jawab saja, saya suka nulis di white board. Selain itu, dengan mengerjakan soal di papan, saya bisa belajar dengan lebih ekslusif. Jika pekerjaan saya salah, saya jadi lebih mudah mengerti seperti apa yang benar. "Besok kamu jadi tentor aja," canda Sang Tentor. Dia pun kemudian mengajarkan saya cara menulis di papan yang benar setiap saya maju mengerjakan soal.

Moment itu menjadi semacam turning point saya untuk ingin mengajar. Sejak itu, jika sudah kuliah saya ingin jadi parttimer jadi tentor di bimbingan belajar. Tentunya supaya bisa pegang spidol dan menulis di papan.

Menulis dengan spidol di papan itu menyenangkan. Entah kenapa saya merasa tulisan saya satu tingkat lebih bagus bila menulis di papan. Selesai menulis saya suka melihat lagi hasil tulisan saya. Tidak terlalu rapi sebenarnya, tapi saya suka.

Niat saya tercapai ketika saya ditawari mengajar les privat saat kuliah semester 2. Saya suka ngajar, namun karena privat saya nggak bisa ngajar dengan nulis di papan layaknya tentor yang saya inginkan. Muridnya cuma satu, pakai kertas HVS dan pulpen pun cukup. Terlepas dari gagal pegang spidol, berhasil mengajarkan soal yang sulit bagi murid sehingga dia paham ternyata menjadi kesenangan tersendiri. Namun tetap saja, misi belum tercapai.

Keinginan ngajar dan nulis di papan tercapai saat saya mendapat tawaran parttime untuk ngajar penelitian di SMP. Walaupun tantangannya lebih besar harus mengondisikan siswa satu kelas yang kelakuannya macam-macam, saya suka. Yang penting saya nulis di papan.

Saya tak punya ketrampilan khusus untuk bisa mengajar dengan baik. Kalau bukan karena spidol, mungkin saya nggak punya keinginan mengajar. Sejak jadi pengajar di dalam kelas, saya pun belajar pula bagaimana mengajar yang baik. Beda jenjang sekolah yang diajar, beda pula karakter siswanya. Cara mengajar yang berhasil diterapkan di satu sekolah, belum tentu berhasil di sekolah lain. Karena itu, meski sudah beberapa kali mengajar, saya tetap merasa gugup setiap kali masuk ruang kelas. Namun itulah seninya mengajar.

Banyak yang bisa dipelajari dari kegiatan mengajar. Saya belajar dinamis karena harus selalu menyiapkan materi yang sesuai dengan karakter kelas. Saya juga belajar spontanitas karena harus siap dengan alternatif materi ketika materi yang disampaikan ternyata tidak menarik, sekaligus belajar sabar ketika tidak diperhatikan di dalam kelas. Dan itu semua saya dapat hanya gara-gara spidol.

@kusdwilestarin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar