Halaman

Kamis, 09 November 2017

Mencicipi Eksotisme Celebes Canyon

Sungai Ule Barru di Desa Libureng kian menjadi favorit para pencari piknik di wilayah Sulawesi Selatan. Gugusan batu besar yang memecah air sungai di banyak sudut menjadikannya cantik nan eksotis.


Terletak di Kabupaten Barru, Celebes Canyon dapat dijangkau dengan berkendara selama 2 jam dari Kota Makassar. Sepanjang perjalanan berjajar pegunungan karst dan rumah-rumah panggung yang pasti cantik jika ditangkap kamera. Jika lapar atau lelah di perjalanan, bisa mampir di warung Sop Saudara yang banyak terdapat di sisi jalan.

Memasuki Desa Libureng akan ada petunjuk yang mengantar pengunjung ke lokasi Celebes Canyon. Berbelok dari jalan raya, perjalanan mulai menyempit melewati perkampungan dengan jalan setapak hingga berakhir di lokasi parkir di sisi hutan. Tak ada retribusi untuk masuk Celebes Canyon, hanya ada penjaga parkir yang akan memberitahu pengunjung jalur menuju sungai.

Untuk sampai ke sungai, pengunjung perlu berjalan kaki melewati ladang jagung. Jika beruntung, akan bertemu dengan sekumpulan sapi yang dibebaskan merumput di sisi ladang. Pemandangan ini layaknya appetizer sebelum menu utama yang apik untuk diabadikan.

Setelah melewati beberapa petak ladang, mulai terdengar suara gemercik sungai dan mulai terlihat bebatuan berwarna putih. Untuk sampai di lokasi utamanya, perlu berjalan menyusuri sungai dari batu ke batu. Beranikan untuk sesekali mencelupkan kaki ke air untuk merasakan sensasi dingin air sungai. Sampai di titik utama, pengunjung akan mendapatkan pemandangan air sungai yang jernih mengalir di antara gugusan batu besar yang eksotis. Dipayungi ranting-ranting pohon yang hijau di pinggir sungai, Celebes Canyon terlihat sangat asri dan cantik.

Banyak spot foto yang memanjakan kamera di tempat ini. Salah satu spot menarik di Celebes Canyon adalah gugusan batu yang membentuk cekungan sehingga terlihat seperti kolam alami. Selain itu, bebatuan yang tinggi besar menjadi spot favorit untuk melompat ke sungai.

Jika ingin berkunjung ke Celebes Canyon, pastikan datang saat tidak hujan. Kata penduduk setempat, sungai Ule Barru rawan banjir jika hujan datang.


@kusdwilestarin


Flash info
Lokasi : Desa Libureng, Kec. Tanete Riaja, Kab. Barru, Sulawesi Selatan
Lama perjalanan : 2 jam dari Kota Makassar
Biaya masuk : free (parking charge only)




Minggu, 15 Oktober 2017

A Little Vacation for Andalusias Part 2

Minggu(16/4) jam 9 pagi, anak-anak Andalusia sibuk berlatih rebana di mushola. Setelah selesai, anak-anak perempuan bergegas kembali ke kamar dengan langkah tergesa-gesa.
"Mandinya bareng ya kak!" pinta Wiwin pada Linda. "Iya, bareng aja biar cepet," jawab Linda.

Sembari mengantri yang lain mandi, sebagian anak lain sibuk di depan almari mencari baju yang akan mereka pakai. Hari itu, anak-anak perempuan Andalusia akan keluar asrama. Mereka bersiap untuk liburan ke Kota Tua.

Usai mandi, Icha, Sini, Sarah, Dian, Wiwin, Linda, Dinda, Putri, dan Rini menenteng tas dan ransel mereka masing-masing. Sembilan anak ini terbagi menjadi dua grup untuk perjalanan dengan taksi online ke kawasan Kota Tua.

Sampai di Kawasan Kota Tua, tempat pertama yang dituju adalah Museum Bank Indonesia. Namun, niat melihat-lihat sejarah uang Indonesia harus kandas karena Museum ditutup untuk kepentingan khusus. Anak-anak perempuan ini pun melanjutkan langkah mereka ke dalam kompleks Kota Tua.

Kota Tua tak pernah sepi pengunjung. Anak - anak saling merapat supaya tak terpisah satu sama lain. Memasuki Kompleks Kota Tua, anak - anak disuguhi dengan para pedagang yang menjual beragam makanan dan pernak - pernik di pinggir jalan. Ada pula para seniman jalanan dengan kostum - kostum unik yang mengundang pengunjung untuk foto bersama.

Museum Fatahillah
Sampai di tengah lapang Kota Tua, anak - anak mulai berunding untuk menentukan museum mana yang akan mereka kunjungi. Mereka pun melangkah ke Museum Fatahillah. Di museum ini anak-anak melihat berbagai benda kuno peninggalan sejarah. Ramainya pengunjung yang padat hari itu tak mengurangi semangat mereka untuk menyimak koleksi museum satu demi satu.

"Di sini teh katanya ada penjara bawah tanahnya, cari yuk!" ucap Linda pada teman - temannya. Satu hal dari Museum Fatahillah yang menarik perhatian anak - anak ini memang adanya penjara bawah tanah yang pernah mereka dengar dari teman - teman mereka. Mereka pun menemukan penjara bawah tanah setelah memasukin bagian belakang museum. Setelah puas menyusuri ruang penjara satu per satu, mereka pun menyudahi penjelajahan di Museum Fatahillah.

Keluar dari Museum Fatahillah pandangan mata anak - anak perempuan tertuju pada para pengunjung yang berlalu lalang menggunakan sepeda yang disewa di sudut - sudut Kota Tua. Mereka pun kemudian menjajal bersepeda keliling Kota Tua lengkap dengan asesoris topi bundar dengan warna senada dengan sepeda mereka. Meski lelah karena bersepeda di siang hari yang terik, ekspresi puas
tak terelakkan dari wajah mereka.

Museum Wayang
Setelah cukup berkeringat, anak - anak bergegas menuju Museum Wayang di sudut Kota Tua yang lain. Di lorong pintu masuk, anak - anak disambut dengan serangkaian wayang dalam kisah Ramayana lengkap dengan urutan ceritanya. Memasuki museum semakin dalam, mereka menemukan beragam jenis wayang dari seluruh Indonesia. "Ternyata wayang itu ada banyak ya?" celoteh Wiwin sembari mengamati koleksi wayang dari Jawa Barat. Beranjak ke lantai 2, anak - anak menemukan koleksi wayang dari negara - negara lain. "Wayang luar negeri serem - serem ya?" celetuk Icha saat melihat koleksi wayang asal China.

Tak cukup hanya melihat - lihat koleksi wayang, mereka pun memasuki ruang pertunjukan wayang dan melihat Sang Dalang memainkan para tokoh wayang. Meski tak cukup paham dengan cerita yang sedang dimainkan, anak - anak tetap tertarik menyaksikan pertunjukan wayang karena ini adalah pengalaman pertama mereka.


@kusdwilestarin







Kamis, 21 September 2017

Sunarti Kuswiryono

Sunarti bukan satu-satunya wanita yang pernah singgah di hati Kuswiryono
Sunarti cantik, tapi ia bukan wanita yang paling membuat lelaki tak cukup tampan itu jatuh cinta
Sunarti hanya gadis desa yang tak cukup pandai menghangatkan pembicaraan
Lalu mengapa harus Sunarti?

Kuswiryono bukan satu-satunya lelaki yang pernah mengalihkan perhatian Sunarti 
Kuswiryono mapan, tapi lelaki lain yang mendekatinya mapan dan tampan
Kuswiryono anak tertua seorang janda dengan tujuh adik yang harus dibiayainya
Lalu mengapa harus Kuswiryono?

Ternyata bukan tentang seseorang yang cukup membuatnya jatuh cinta
Kuswiryono butuh seseorang yang dapat bertahan dengan kondisi sulitnya
Ternyata bukan tentang seseorang yang mapan dan tampan
Sunarti butuh seseorang yang dapat membimbing keapadaannya

Berasal dari desa, Sunarti datang dengan nilai keteguhan hati dan kesabaran
Pun Kuswiryono yang menjadi tulang punggung keluarga, ia datang dengan kemandirian

Lalu mengapa harus Sunarti Kuswiryono?
Karena Tuhan mau demikian
Tuhan hadiahkan rasa cinta yang sebenarnya atas kebijaksanaan keduanya



@kusdwilestarin

Minggu, 10 September 2017

Let Yourself Answer Your Problems

Kadang kalau lagi punya beban pikiran rasanya udah kaya yang paling berat aja hidupnya, padahal cuma nggak tau aja masalah orang lain kaya apa.

Bersama teman-teman pesantren Al-Mujib, Cangkringan, Sleman, saya coba minta mereka cerita masalah real yang mereka alami dan ayat Quran mana yang pada akhirnya mereka temukan sendiri untuk menjawab masalahnya sendiri. 

Hasan adalah anak pertama yang mengajukan diri untuk cerita. Buatnya, masalah terpelik hidupnya adalah kemampuan untuk menelaah pelajaran di kelas. Ketika teman-temannya bisa mengajukan pertanyaan untuk berdiskusi dengan dosen, dirinya hanya bisa diam karena merasa tak menguasai materi yang sedang didiskusikan. Lalu apa kata Quran? Iqra,  jawabnya. Di Surah Al Alaq ayat pertama sudah mengajarkan manusia untuk membaca, yang lebih jauh dimaknai dengan belajar. Hasan pun mengaku bahwa mungkin ia kurang belajar, dan harus meluangkan waktu yang lebih banyak untuk mengejar ketertinggalannya dari teman-temannya.

Setelah Hasan, kemudian Cindy turut bercerita. Baginya, hal yang kadang mendatangkan kegalauan adalah hubungannya dengan teman-teman satu asrama yang tidak selamanya baik. Ia merasa terkadang temannya tak menyukainya, walaupun ia tak paham kenapa. Seperti Hasan, Cindy juga dapat mengungkapkan ayat Quran mana yang ia temukan untuk menjawab masalahnya.

Dari cerita tadi, sebenarnya mereka paham apa masalah mereka dan bagaimana mengatasinya berdasarkan Quran. Hanya saja, terkadang pemahaman ini adalah pemahaman yang tidak disadari. Baru setelah ada yang bertanya, mereka mencoba menyusun sistematika pemecahan masalah untuk menjawab pertanyaan. Dengan cerita, temen lain yang punya masalah yang sama menjadi termotivasi, at least ngrasa ngga sendirian. Dan yang masalahnya ngga seberat yang lain jadi pun lebih bersyukur.

Saat bertanya, saya tahu mereka punya kapasitas untuk bisa menjawab pertanyaan saya. Justru saya bertanya karena memang saya nggak ngerti, jadi literally bertanya untuk mencari insight dari cerita mereka. Saya mungkin bisa mendefinisikan beban pikiran saya, tapi mencari Ayat Al Quran untuk menjawabnya rasanya tak sepandai Hasan dan Cindy. 

@kusdwilestarin

Sabtu, 02 September 2017

Waerebo: Pesona Budaya Indonesia dari Tanah Flores

Nama Waerebo kian menjadi destinasi populer bagi para pecinta travelling. Desa yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini menyuguhkan rumah adat yang bisa dikunjungi bahkan ditinggali oleh para wisatawan. Di desa yang identik dengan rumah-rumah kerucut ini, pengunjung dapat merasakan sensasi lingkungan tradisional yang erat dengan tradisi budaya penduduk asli setempat.

Perjalanan Panjang
Untuk mencapai Waerebo diperlukan perjalanan yang cukup panjang. Wisatawan yang datang dari luar Flores umumnya mendarat di Bandara Komodo, Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo, diperlukan perjalanan darat selama kurang lebih lima jam dengan medan yang cukup 'memabukkan'. Setelah perjalanan darat menggunakan kendaraan, masih dilanjutkan dengan berjalan kaki menaiki bukit selama tiga jam. Lelah memang, namun rasa lelah segera terbayarkan ketika perjalanan sudah mulai melandai dan atap-atap kerucut mulai terlihat dari kejauhan.

Rasa lelah semakin tersingkir saat mencapai pos selamat datang sebagai penanda pintu masuk ke desa. Di pos ini, wisatawan diberikan pengarahan terlebih dulu oleh penjaga desa setempat terkait norma-norma adat yang perlu diperhatikan saat berada di lingkungan Waerebo.

Kopi dan Kayu Manis
Memasuki halaman desa, wisatawan akan disuguhi dengan rumput hijau yang di sudut-sudutnya terbentang bijih kopi dan kayu manis yang sedang dijemur. Seorang lelaki tua sesekali merapikan susunan bijih kopi dan kayu manis yang menjadi sumber penghidupan penduduk di sana. Di sudut lain, anak-anak kecil ramai berlarian di halaman tanpa ada rasa sungkan ketika wisatawan datang.

Wisatawan yang datang akan langsung disambut oleh pemandu untuk diajak memasuki rumah utama. Di rumah utama ini, wisatawan disambut oleh pemangku adat dengan ritual adat setempat untuk meminta izin kepada leluhur mereka atas kehadiran para pendatang. Setelah ritual penyambutan, wisatawan dipersilakan untuk masuk di rumah kerucut lain untuk menginap.

Rumah kerucut lima lantai
Desa wisata ini terdiri dari delapan rumah berbentuk kerucut beratap jerami hitam. Meski tampak kecil dari luar, rumah ini dapat menampung puluhan orang. Rumah ini terdiri dari lima lantai, dimana lantai dasar merupakan ruang utama yang bisa ditinggali hingga delapan garis keturunan. Di lantai dasar inilah tamu-tamu wisatawan dipersilakan untuk singgah dan menginap. Setiap tamu sudah disiapkan alas tidur, bantal, dan selimut yang disusun melingkari ruangan. Sementara itu, di tengah ruangan disusun bantal-bantal jerami kecil sebagai alas duduk untuk makan. Seluruh tamu yang singgah akan disuguhi makan pagi, siang, dan malam dengan masakan rumah ala desa mereka lengkap dengan kopi khas racikan ibu-ibu Waerebo.

Di tengah ruangan lantai dasar terdapat tangga vertikal dari bambu untuk menuju lantai atas. Di lantai dua dan tiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan, lantai empat sebagai tempat menyimpan benih, dan lantai lima sebagai tempat bahan-bahan sesaji yang disebut langkar.

Meski berada di tanah Nusa Tenggara, suku asli Desa Waerebo ini berasal dari suku Minangkabau di Sumatera Selatan. Suku Asli yang bernama Suku Modo ini datang dari barat Indonesia berpindah-pindah hingga akhirnya menemukan dataran di Waerebo untuk menetap. Tak heran, rumah kerucut di desa ini memang cukup identik dengan rumah adat minangkabau.

Sekolah dan Kesehatan
Berada jauh dari pemukiman warga lain, anak-anak Desa Waerebo tak lantas tak sekolah. Dua kali dalam seminggu, datang guru dari desa terdekat untuk mengajar anak-anak. Untuk menunjang pembelajaran di Waerebo, di sudut bukit dibangun perpustakaan. Perpustakaan ini menampung buku-buku yang dibawa relawan ataupun wisatawan yang berkunjung ke Waerebo. Tak hanya pendidikan, kesehatan di Waerebo juga diperhatikan dengan adanya mantri yang siap berjaga di pos kesehatan yang letaknya bersebelahan dengan perpustakaan.





Minggu, 07 Mei 2017

Nostalgia Mengajar di Kota Pelajar

Sabtu (4/2), jam 5 pagi saya sudah bersiap di depan rumah dengan pakaian rapi dan ransel di punggung. Tidak ada bangun siang di akhir pekan ini. Pagi buta itu, saya bergegas ke daerah cangkringan untuk bertemu dengan kawan-kawan relawan Kelas Inspirasi Yogyakarta (KI).

Saya dan sembilan relawan lain akan mengajar siswa sekolah dasar di lereng merapi. Semalam, kawan relawan yang datang dari luar kota menginap di basecamp dekat sekolah. Di tempat ini pula semua relawan berkumpul sebelum melangsungkan kegiatan.

Sampai di basecamp saya disambut Imam Si Penulis, Hasan CEO Startup, Hardy Si Fotografer, dan Budi, fasilitator kelompok kami. Sementara di kamar, ada Lilin Si Desainer dan Anin si Reporter tv. Mereka masih bersiap. 

Setelah saya datang, menyusul Dokter Vike dan Tika Si Videografer yang datang dari Semarang. Tak lama setelahnya muncul Eko Si Engineer, dan Bejo Si Bankir yang baru datang langsung dari Surabaya. Kami pun berangkat sama-sama ke SD Negeri Watuadeg. Sampai di sekolah, kami disambut ibu kepala sekolah yang sudah bersama Dina Sang Aviation Security, Hilmi Si Fasilitator, dan duo fotografer Tia dan Putri.

Memperkenalkan Profesi
Jam tujuh pagi, sebelum para siswa memasuki kelas, mereka dikumpulkan di lapangan sekolah untuk berkenalan dengan kami yang tentu lebih muda dari Bapak-Ibu Guru mereka. Beberapa siswa tampak antusias meski yang lain ada pula yang tampak masih kebingungan.

Kami berkenalan satu persatu dengan nama dan profesi kami masing-masing. Buat saya yang profesinya tidak seumum dokter atau desainer, sesi ini selalu jadi bagian yang sulit. Profesi saya analis pengangkutan gas bumisebuah istilah profesi yang mungkin cukup pelik bila didengar oleh anak SD. Di depan siswa, saya memperkenalkan diri sebagai analis migas supaya lebih sederhana. Namun istilah migas pun masih cukup asing di telinga anak-anakBaru setelah saya jelaskan sedikit pengertian minyak dan gas bumi dengan memberi contoh produk yang ada di sekitar mereka seperti bensin yang mereka beli di SPBU, baru mereka sedikit paham ruang lingkupnya.

Dinamika di kelas
Saat mengajar di kelas, masing-masing relawan membawa amunisi untuk mendukung materi yang akan disampaikan. Dokter membawa stetoskop dan baju putihnya, reporter membawa microphone untuk reportase, dan saya menggunakan peta Indonesia untuk mengenalkan daerah-daerah di Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan migas. 

Jumlah murid dalam satu kelas tak cukup banyak, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh anak. Namun jumlah yang kecil ini tidak serta merta membuat proses belajar jadi lebih mudah. Nyatanya, para relawan tetap saja mengaku kehabisan energi selama mengajar.

Masing-masing relawan punya kesempatan mengajar di tiga kelas. Saya berkesempatan mengajar di kelas 2, 5, dan 6. Mengajar kelas 5 dan 6 bukan hal yang sulit. Siswa pada jenjang ini sudah cukup mudah diatur. Tak butuh waktu lama untuk mengondisikan kelas supaya siap belajar. Para siswa pun mudah memahami materi. Pada sesi kuis di akhir pelajaran, para siswa selalu berebut mengangkat tangan ketika diberikan pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.

Lancar di kelas sebelumnya tak membuat saja lebih percaya diri mengajar di kelas 2. Benar saja, di kelas ini saya butuh energi ekstra untuk mengondisikan kelas mengingat siswa di jenjang ini lebih kanak-kanak. Mereka lebih mudah bosan dan polos dalam menyampaikan segala hal. Bila kelas tak menarik, siswa-siswa tanpa sungkan berlarian ke luar kelas dan mengganggu kelas lain. Di kelas ini, saya lebih banyak mengandalkan ice breaking seperti game dan bernyanyi supaya siswa tertarik untuk tetap tinggal di kelas.

Meski menyenangkanmengajar anak sekolah dasar memang tak bisa dibilang mudah. Meski sudah beberapa kali berhadapan dengan anak SD, saya tetap saja merasa grogi setiap kali memasuki kelas. Karena masih sangat polos, mereka mudah mengungkapkan apa yang mereka rasakan tanpa sungkanDan disitu adalah challenge yang mendorong saya untuk terus belajar bagaimana menyampaikan materi dengan baik kepada anak-anak.
Ajang Nostalgia
Terlepas dari dinamika menarik yang selalu bisa ditemukan di sekolah, KI Yogyakarta punya nilai lebih tersendiri buat saya. Mengajar di kampung halaman adalah sebuah nostalgia atas kegiatan saya saat saya kuliah. Walaupun dulu tak pernah mengajar anak SD, setidaknya saya kembali ke dunia sekolah di tempat tinggal saya. Ada kepuasan tersendiri ketika sudah bekerja jauh dari kampung halaman kemudian kembali dan berkontribusi langsung untuk anak-anak sekolah. Mungkin memang tak berdampak banyak, tapi berbuat lebih baik daripada diam, bukan?

@kusdwilestarin

Sabtu, 14 Januari 2017

[Diary clipping] Andalusia Goes To National Museum

Oleh: Sini Sri Gusdinar

Hari Minggu aku diajak jalan-jalan ke museum nasional, aku mau cerita tentang jalan-jalan minggu lalu ya.

Aku jalan ke museum Gajah. Museum Nasional itu sering dipanggil Museum Gajah. Tahu kenapa? Soalnya ada patung gajahnya. Bisa dibilang museum itu keren banget, soalnya disitu banyak banget benda yang baru aku lihat, dari mulai tempat dan semua isinya, karena aku baru pertama datang ke Museum Gajah.

Disana banyak patung manusia purba, keren deh. Terus banyak miniatur rumah adat gitu, lucu banget. Tadinya kalau bisa, pengen aku bawa pulang. Tapi sayang banget dipegang juga nggak bisa.

Aku paling suka ke tempat yang banyak banget koleksi dari keramik sama emas. Ternyata mahkota-mahkota kerajaan dulu disimpan disitu banyak banget, dan itu semua dibikin dari emas. Oiya, disitu juga ada tempat orang ngebatik, dan bisa ikut nyobain juga. Ternyata ngebatik itu susah banget. Ada latihan nari gitu, tadinya pengen banget ikut, tapi karena nggak bisa gajadi deh. Ada juga pertunjukan musik tradisional juga. Kalian yang belum pernah ke museum gajah harus kesana ya, karena itu keren banget untuk ngisi waktu libur.

***

Oleh: Annisa FA

Minggu kemarin tepatnya tangga 9 Januari 2017, aku bersama teman-teman dan kakak kelas diajak jalan-jalan sama guru les inggris yang cantik dan baik hati. Kamu tahu aku diajak kemana? Ke museum nasional.

Aku senang sekali karena itu pertama kali aku kesana. Aku dan teman-teman naik grab car, sekitar pukul 10 WIB. Disana aku melihat banyak sekali benda yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dan yang paling aku suka, waktu kami di lantai 4. Disana banyak sekali perhiasan kerajaan zaman dulu. Ah, andai saja aku boleh mengambil salah satu dari perhiasan tersebut, mungkin aku sudah kaya, hahaha.

Tiba-tiba saat melihat-lihat koleksi di lantai 3, Kak Novi merasa kepalanya pusing. Dan akhirnya kami turun ke bawah dan pulang mengantar ke asrama. Setelah mengantar kak Novi ke kamar, kami melanjutkan perjalanan untuk mengisi perut kami yang keroncongan. Kami tiba di sebuah tempat makan solo. Kami memesan makanan dan minuman, lalu menyantapnya bareng-bareng. Setelah semuanya beres, kami pulang ke asrama. Dan jalan-jalan hari minggu pun berakhir.

Selasa, 10 Januari 2017

A Little Vacation for Andalusias

Saturday (7/1/2017)

At about 10 am, Nova, Novi, Icha, Linda, and Sini was already in a good outfit. Everyone brought a small pouch on their shoulder. They're ready for a little reward for their good exam report last semester. They would go to National Museum of Indonesia in Central Jakarta. Finally they had a little fun thing to do outside the dorm in their last school holiday.

Cultural classes
It was their first time visiting National Museum of Indonesia. Entering the front hall of the building, they found some people practicing traditional dance. They froze for a moment watching people practicing Pendet, a traditional dance from Bali. Every participants wore a colourful shawl and corset on their belly. They moved their body and made a beautiful motion as the music played.

Exploring another corner, the girls moved their eyes to some people who played Gamelan (javanese music instrument). They walked to the Gamelan corner and watched people pushed the instrument that created a great sound. This traditional music instruments usually used as a musical accompanishment for javanese dance or javanese traditional shadow puppet.

Beside the gamelan corner, there was an old man making Batik (Indonesia traditional pattern). The girls came to the Batik corner and welcomed to practice making batik. The man gave the girls some patterned fabric, and what they need to do was just thickening the pattern using a tools called canting. This tools was just like a pen that filled with traditional ink. Everyone tried making batik one by one and realized that making batik was not that easy. They had to be careful in moving their hand, or the ink would just flowover the pattern. It needs a good accuracy and patience. That's why a hand made Batik is always expensive.


Every Saturday, National Museum of Indonesia provide some cultural classes and the visitors can join for free. It was the latest innovation of this museum to bring traditional culture closer to the people. It was really good program to educate people by giving personal experience. However, those cultural class is just an appetizer to attract visitors. The main course was actually in the room next the hall where various collections are placed.

Precious Collections
Entering the collection room in the ground floor, these five girls welcomed by a replica of ancient humans. This rooms brought the visitors to prehistoric life. There were some human fossils and other relics that found in Indonesia. 

Tabuik
The girls took some picture before they found a replica of tabuik in the corner of the room. It's a ceremony to remember the death of grandson of Prophet Muhammad SAW, Husain Ali. The word tabuik was originated from Arabic which means coffins. Some muslims believed the body of Husain was lifted up to the sky by Buroq. Buroq was symbolized by the figure of a horse with human head. 

Finished exploring the first floor, the girls went upstairs and they found another collections. There were many kind of inscriptions written in Sansekerta, Tionghoa, and Arabic language. They also found many traditional tools from all around tribe in Indonesia such as compas, globe, watercraft, and many others. There were also displayed replica of Borobudur, and traditional houses from various province. This floor was about the result of science and technology from ancient people.

Went one more upstairs, they found precious historical collections made from gold and ceramics. In the past, ceramics brought by traders when sailed to Indonesia. The collections were so fabulous. However, this floor was quite restricted. The visitors were prohibited take picture due to security of the stuffs. The regulator of the museum anticipated of any criminality by imitating the collection for specific purpose.

@kusdwilestarin