Halaman

Sabtu, 07 April 2018

Sugesti dari Teman Kecil

Pukul 6 pagi semua relawan berkumpul di halaman sekolah. Hari Jumat itu (23/3), sebanyak sebelas relawan dari beragam latar belakang profesi akan mengajar di SD Negeri Clapar, Hargowilis, Kulonprogo untuk Kelas Inspirasi Yogyakarta.

Saya ada disana. Sebelum kelas dimulai, kami membuat sesi opening di halaman sekolah untuk perkenalan. Anang menjadi juru bicara kami. Setelah memperkenalkan dirinya sendiri sebagai news anchor di salah satu stasiun televisi, dia memperkenalkan Ma'ruf sebagai motivator, fahmi sebagai product designer, Diah sebagai Arsiparis, Nonik sebagai Akupuntur, Tutun sebagai Arsitek, dan saya sebagai Analis di bidang migas.

Setelah berkenalan, kami mengajak mereka bernyanyi sambil membuat gerakan. Semua anak antusias. Saya pun tak mau kalah semangat untuk turut tarik suara. Saat turut bernyanyi, tiba-tiba pandangan saya menjadi berputar-putar. Mungkin cuma sebentar, pikir saya. Sayapun masih melanjutkan bernyanyi, namun dengan sedikit mengurangi gerakan. Setelah beberapa saat, pandangan justru semakin berputar kencang. Vertigo? tanya saya dalam hati.

Mulai kehilangan keseimbangan, saya memutuskan berhenti dan menuju ruang guru. Saya merebahkan badan di sofa dan memejamkan mata beberapa saat, tapi ternyata masih berputar. Sementara itu, opening akan segera selesai dan sesi kelas akan segera dimulai.

Sesi opening selesai, dan dilanjutkan dengan sesi kelas untuk jam pertama. Beruntungnya, saya tak punya jadwal mengajar di jam pertama. Berarti, saya masih punya waktu tiga puluh menit untuk mengembalikan keadaan. Entah, saya pun tak yakin apakah dalam tiga puluh menit saya sudah kembali normal.

Ada banyak kekhawatiran di kepala saya. Jika pandangan saya masih terus berputar, saya bahkan tak percaya diri untuk sekedar berdiri, apalagi mengajar di depan anak-anak? Tapi jika mundur di saat pelajaran sudah mulai, jadwal mengajar pasti kacau. Saya tentu akan menambah jam mengajar rekan yang lain. Padahal dengan jadwal mengajar yang sedang berjalan saja, masing-masing pengajar sudah harus mengajar lima kelas. Gimana kalau saya mundur?

Tiga puluh menit berlalu, kepala saya masih berkunang-kunang. tapi saya putuskan untuk tetap mengajar. Tak tanggung-tanggung, kelas pertama saya adalah kelas satu yang biasanya sulit diatur. Di Kelas Inspirasi sebelum-sebelumnya, bahkan dalam keadaan sehat pun saya kesulitan untuk mengondisikan kelas kecil, apalagi saat tidak fit?

Saya ambil ukulele dari dalam tas dan bergegas ke kelas. Masuk di kelas satu, saya mengucap salam kepada anak-anak. "Kita belajarnya sambil duduk di bawah ya, ibu gabisa berdiri lama-lama," ucap saya. Saya duduk bersila di salah satu sisi ruang kelas sambil bersandar di dinding. Semua anak mengikuti. Mata mereka berbinar melihat ukulele yang saya pegang. Mereka pun duduk di sekeliling saya membentuk lingkaran tanpa harus diatur.

"Ibu kakinya sakit?" tanya Bela, siswi yang duduk di samping saya sambil memperhatikan kaki saya yang berbalut perban. Meski sudah saya tutup dengan kaos kaki, ternyata masih terlihat. "Iya, ibu habis jatuh, makanya kita belajarnya duduk aja ya," jawab saya. Sehari sebelum acara ini saya memang sempat terjatuh dari motor. Bisa jadi itu juga penyebab vertigo pagi itu.

Melihat mereka antusias dan mudah dikondisikan, saya semangat memulai materi di kelas. Mengondisikan anak kelas satu yang saya pikir akan menguras tenaga, ternyata tidak berlaku di sekolah ini. Semua anak menurut, bahkan perhatian.

Entah kenapa kepala saya yang sebenarnya masih tak beres mendadak enteng ketika berada di antara para siswa. Wajah polos dan antusias mereka seolah membawa energi tersendiri untuk saya. Saya pun mulai mengajak mereka bernyanyi. Setelah bernyanyi, mereka semakin dekat dan akrab dengan orang baru di depan mereka. Setelah itu, saya mulai memberi materi belajar yang ringan. Dan ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Hingga jam pelajaran selesai, tak ada satu anak pun yang tak mengikuti pelajaran. Saya lega.

Berhasil di kelas satu membuat saya lebih percaya diri untuk melanjutkan mengajar di kelas lain. Saya sudah tak peduli lagi dengan kondisi kepala saya. Rasanya semua baik-baik saja. Dan benar saja, di empat kelas lain yang saya masuki, semua anak menyenangkan. Seluruh kelas antusias dan sangat hormat dengan guru baru mereka. Saya sangat sadar, kelancaran saya mengajar di kelas bukan karena saya pandai mengondisikan kelas, tapi karena memang siswanya patuh.  Saya bertanya dalam hati, bagaimana guru-guru disini mendidik mereka sehingga bisa sangat hangat kepada orang lain?

Setelah jam pelajaran selesai, saya, relawan lain, dan para guru berdiskusi di ruang kelas. Di kesempatan itu, saya pun mengungkapkan apresiasi saya atas sikap anak-anak yang sangat menghormati guru baru mereka. “Kok bisa begitu ngajarinnya gimana ya? Di sekolah lain anak-anaknya lebih sulit dikondisikan, tapi disini pada nurut-nurut,” tanya saya. “Mereka memang begitu kalau ada orang baru, selalu antusias dan menghormati. Kalau ditanya ngajarin gimana kami nggak tahu juga, kami hanya selalu memberi contoh langsung untuk selalu bersikap baik kalau ada orang baru, mereka hanya melihat lalu mengikuti. Mungkin, di rumah juga mereka diajarin unggah-ungguh untuk hormat sama orang yang lebih tua,” ungkap Pak Joko, Kepala Sekolah di sana.

@kusdwilestarin