Halaman

Sabtu, 09 April 2016

A Night at The Orphanage

It was friday evening when i came to one of orphanage in South Jakarta. It's not my first time came there, but i usually i come at Saturday morning to give additional lesson for the teens. At that day, i specially came just to follow their activity after school.

Evening activity
We did maghrib prayer together in mosque. After had some dhikr, i followed them to read Al-Mulk as their habit every friday.  The teens read it so well and fast. It took only few minutes to finish 30 verses. If i do it my self, it probably need some longer time.

After finished reading Quran, we had a supper while listened to the Ustadz's advices. When we did eating, Linda, one of the teens, asked me for the additional lesson for the following morning. "Iya, besok aku kesini lagi kaya biasa," i said.

"Kenapa nggak nginap disini aja, Kak? Tidur bareng-bareng sama kita!" Linda begged me to stay. Wow, it never cross in my head, but it sounds fun. Since i didn't have anything else to do, i nod to her. "But asked to your Ustadz first if i am allowed," i said. She then ran asked her Ustadz and he said yes.

I then continued following their next activity after Isya to watch movie. We watched Final Destination until 10 pm. After that, we moved to the girls dorm to have a sleep.

At the Girls Dorm
I have ever seen girl's dorm before. There's only two rooms for the girls in the 2nd floor. Each room consist of about ten persons or more. Each room provided by two bathrooms in the corner and some small cupboards around the wall. Eight beds lined on the floor for sleep. "Disini, Kak. Kakak tidur sama aku," Linda show me one bed facing the fan. Unlike another naked bed, my bed already covered by a sheath and pillow. What a kind girl.

It's already 11 pm and the girls still had a chat. They talked with Sunda's language so i don't understand what they talked about. I just listened to them. I was sleepy.

"Panas ya Kak?" Another girl asked me. She looked worry if i wasn't comfort. "Nggak kok, sama aja kaya di kosanku," i said little bit lying. It was very hot, indeed. I just couldn't imagine how can i sleep with this heat. I started sweating.

Can't sleep
Almost 12 pm and they're still awake. "Kalian jam segini belum tidur, biasanya tidur jam berapa?" I asked.
"Kita mah malem tidurnya, ngobrol dulu. Nanti jam 3 udah bangun lagi, tahajud," Linda answered. Wow, how can they make it? I talked to my head.

When we still had a chat, there's a rat passed in front of us. "Oiya Kak, disini banyak tikus. Tikusnya besar-besar," Icha informed me. They then talked about the rat living in their rooms. "Kadang suka gigitin kaki aku kalau tidur," Linda said and laugh.

They laugh instead of complain. They even didn't feel annoyed with their condition. They enjoy the rooms, they enjoy the heat, they enjoy their life. What a great soul.

12 pm i started to sleep while the girls still keep talking. I laid my body and closed my eyes, pretended to sleep. 1 am, I still couldn't sleep and still heard them keep talking. I just moved my body from right to left. When i moved to my left side, there's a cat right beside me. Whoaa, so i sleep with the cat and rat around me? Well, these girls have it every night.

I didn't know when i finally slept. At 4.30 am, Linda woke me up for Subuh prayer. I woke up and went to the mosque. After Subuh, we did dhikr and read Al-Waqiah. After that, we back to rooms and continued sleeping.

6.30 am i woke up by my self and found that there was only my bed in the floor. Other beds were already piled up in the corner. The girls already woke up. I saw Nova brought a broom on her hand. I then put my bed to the corner right away so that she can sweep the whole floor.

I really want to take a shower, but didn't bring my towel. I feel really uncomfort with my hair and my clothes. I really want to back home, but i still have to give them additional 'class' as i promised on previous day.

I waited the girls to finish their own activity. Some had a shower, ironing the clothes, swab the floor, etc. At 9 am, as they already finished, I open my notebook and started the 'class'. We did listening session until 10 am.

What a great experience spend a night at the orphanage. I found many things to learn from that unforgetable night. A good praying schedule, a sisterhood, and a friendliness. And finally, i learnt to be more grateful of what i got and enjoy the life.

@dwilestarin

Kamis, 07 April 2016

Baduy, Suku Pedalaman yang Berteman dengan Jaman

Rabu(6/4), musik angklung bersahutan di halaman Bentara Budaya Jakarta. Musik ini dimainkan oleh orang-orang Suku Baduy yang merupakan sepenggal dari ritual menjelang menanam padi. Malam itu Bentara tengah disulap menjadi perkampungan Baduy dengan rumah tradisional, jembatan bambu, serta iringan musik tenun dan tumbukan padi. Welcome to Baduy
Permainan musik itu ditampilkan dalam rangka pembukaan Pameran Baduy yang diselenggarakan tanggal 6-10 April 2016 di Bentara Budaya Jakarta. Pameran dibuka dengan konser bertajuk "Membaca Baduy". Selain permainan angklung, konser dimeriahkan pula oleh Jodi yudono, redaktur Kompas yang mengarang tiga lagu bertemakan Baduy. Berkolaborasi dengan Tlaga Swara dan warga Suku Baduy, Jodi membawakan lagu-lagunya dengan sangat apik.
Selain konser musik, pembukaan pameran itu menghadirkan Pak Sarpin, warga Baduy Luar yang menjadi pelopor sukunya untuk peduli pendidikan dan tidak terus menerus menutup mata terhadap dunia luar. Baduy memang dikenal masih sangat memegang erat adat. Pendidikan dilarang karena dikhawatirkan akan digunakan untuk minterin orang yang bertentangan dengan nilai leluhur mereka.
Keluarga Sarpin bisa dikatakan 'permberontak adat' demi kebaikan generasi masa depan. Menurutnya, baca tulis diperlukan untuk bisa lebih mudah bersosialisasi dengan orang lain. Demikian pula bisnis hasil karya yang mereka miliki. Kain tenun Baduy yang mereka buat kini mulai dipasarkan keluar wilayah mereka. Kini Suku Baduy semakin terbuka dengan jaman tanpa mengubah nilai-nilai budaya yang mereka miliki. Melalui pameran ini, Suku baduy memperkenalkan jati diri mereka yang ramah dan menerima kemajuan untuk hadir di tengah adat istiadat yang tetap mereka pegang erat.
@dwilestarin

Senin, 04 April 2016

Peduli Tak Harus ke Ujung Negeri

Sabtu pagi, anak-anak salah satu panti Asuhan di Jakarta Selatan berkumpul untuk belajar Bahasa Inggris. Kia adalah salah satu anak yang cukup bersemangat dibandingkan teman-temannya yang lain. Ketika teman-temannya mengelak untuk mencoba bermain game bahasa Inggris karena kurang percaya diri dan malu, anak kelas 1 SMK ini justru mengajukan diri dengan senang hati. Dia cukup percaya diri dan aktif meskipun usianya lebih muda dari teman-temannya yang duduk di bangku setingkat lebih tinggi.

Pada salah satu sesi permainan, Kia dan teman-temannya diminta berpasangan untuk mendeskripsikan dan menebak suatu kata yang tertulis pada kartu berwarna merah. Dalam kartu itu tertulis nama-nama pulau besar di Indonesia. Setiap anak harus mendeskripsikan pulau yang dimaksud dengan bahasa Inggris supaya pasangannya bisa menebak pulau yang dimaksud. Mereka bisa mengimajinasikan peta Indonesia kemudian mendeskripsikan letak pulau dari pulau di sekelilingnya.

Seperti yang sudah-sudah, Kia antusias untuk menjadi yang pertama menjajal permainan ini. Dia memilih untuk memberikan clue untuk ditebak oleh partnernya. Ada banyak kartu yang dapat dipilih dan masing bertuliskan beragam nama pulau yang berbeda-beda. Kia pun mengambil salah satu kartu. Dia mendapatkan kata 'Bali'. Kia harus menjelaskan segala hal yang terkait dengan pulau dewata ini supaya temannya bisa menebak dengan benar, entah dengan letaknya yang berada di sebelah timur pulau jawa, atau mungkin dengan menyebutkan budaya tarian khas yang sudah sangat terkenal. Ini mudah, seharusnya.

Namun Kia yang biasanya langsung aktif tidak juga segera memulai percakapannya. Dia tersenyum kemudian menggelengkan kepala. Kia pun dituntun untuk mendeskripsikan letak pulau yang dimaksud dari pulau jawa. Namun dia masih menggeleng. "Nggak tau," ucapnya. Dirinya tidak tahu letak Pulau Bali yang sedemikian terkenalnya. Anak ini mendapatkan Pulau Bali yang hanya bertetangga dengan Pulau Jawa saja sangat kesulitan. Terbayang bukan bagaimana peliknya mendeskripsikan pulau-pulau lain yang lebih jauh dari jawa?

Tanpa bermaksud mengumbar kekurangan pada anak, kesulitan anak seaktif Kia tentunya menjadi kesulitan yang sama bagi teman-temannya yang lain. Karena mendeskripsikan berpasangan dirasa berat, permainan dilanjutkan hanya dengan menebak pulau yang dimaksud. Anak-anak diberikan clue terkait letak pulau yang dimaksud di antara pulau lain di Indonesia. Dan benar saja, mereka cukup kesulitan.

Ternyata tidak semua anak sekolah paham dengan baik letak geografis Indonesia. Padahal, mereka sekolah di Ibukota dan sudah setingkat SMA. Sangat miris, mengingat pelajaran geografi sudah diajarkan sejak di bangku Sekolah Dasar. Demikian halnya dengan beban berbahasa Inggris yang membuat permainan yang mereka lakukan semakin pelik.

Melihat kenyataan itu, beban pendidikan di Indonesia ternyata tak hanya pada kondisi geografisnya yang punya banyak pulau terpencil sehingga sulit dapat pendidikan yang berkualitas. Nyatanya, di Ibukota pun pendidikannya belum cukup. Wilayah pelosok negeri memang butuh uluran tangan ekstra. Namun, kota-kota besar pun tak dapat dikesampingkan. Indonesia butuh dukungan pendidikan di berbagai sudut wilayahnya. Ini berarti, kesempatan membantu anak-anak Indonesia bisa ditemukan dimanapun selama mau peka dan peduli atas keadaan sekitar. Bantu saja dari yang paling dekat, apapun bentuknya.