Halaman

Jumat, 01 November 2013

Sepenggal Jalan Syukur

Hari Kamis (31/10), saya berkunjung lagi ke Pondok Suruh Sleman, salah satu pondok pesantren yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim. Sesampainya di Pondok saya celingukan mencari wajah mungil yang biasanya ribut di tengah orang-orang yang membaca doa sebelum berbuka. Tapi hari itu pencarian saya nihil. Syifa tidak terlihat batang hidungnya.

Selesai doa, saya menanyakan keberadaan Syifa pada salah satu santri. “Sudah pulang,” jawabnya. Yaah, ucap saya dalam hati. Syifa sudah kembali ke tangan ibunya sejak lebaran. Di satu sisi saya lega, anak itu bisa kembali berkumpul dengan ibunya. Tapi di sisi lain sedih juga karena tidak lagi bisa melihat wajah mungilnya.

Syifa adalah santri termuda di pondok. Anak ini menjadi seorang yatim di usianya yang baru tiga tahun. Ibunya terpaksa menitipkan Syifa ke pondok pesantren karena tak sanggup membiayai. Bisa dibayangkan, di usia yang masih sangat bergantung kepada orang tua, anak itu terpaksa berpisah dengan ibunya. Syifa menolak, namun ibunya tak punya pilihan. Sejak tinggal di pondok, anak itu menangis setiap malam. Setiap malam.

Saya bertemu anak ini pertama kali pada Bulan Februari, saat saya ke pondok pasca kepergian Bapak. Anak itu mencuri perhatian saya ketika membaca doa menjelang berbuka puasa. Sebagai anak baru, anak ini cukup cepat menghafal doa-doa. Saya pun tertarik mendekati anak ini.
Layaknya anak usia tiga tahun, tingkah polah Syifa memang sangat aktif dan sedikit susah diatur. Tidak ada raut sedih di wajah anak ini. Ada satu hal yang saya ingat darinya. Saat makan bersama, saya mencoba menyuapi Syifa dengan nasi box, dan dia bersedia dengan syarat. Dia hanya mau makan sesuai dengan porsinya. Sayapun harus menyisihkan nasi dan lauk sesuai dengan porsi yang dia minta, dan dia benar-benar menghabiskannya. Saat itu pasti Syifa berpikir. Dia diajarkan untuk tidak boleh menyisakan makanan, dan dia sudah mengira bahwa tidak mampu menghabiskan semua nasi boxnya. Akalnya mendorongnya untuk menyisihkannya di depan, supaya tidak mubazir di belakang. Pikiran yang cerdas untuk anak seusianya. Saya takjub.


Kehadiran Syifa di pondok membawa pelajaran tersendiri bagi saya. Lagi-lagi pelajaran untuk tak hentinya bersyukur. Saya ditinggalkan oleh Bapak di usia yang sudah cukup matang. Sedangkan Syifa dan anak-anak lain bahkan ditinggal bapak mereka di usia yang masih sangat kecil, bahkan harus hidup mandiri di pondok. Meski demikian, mereka tetap memperlihatkan raut wajah yang sumringah. Mereka tetap semangat.  Lantas kenapa saya harus sedih? Setidaknya saya masih lebih beruntung, saya diberi kesempatan untuk menikmati utuhnya keluarga selama 23 tahun. Mereka menularkan semangat yang luar biasa untuk saya pribadi. Sedih memang manusiawi, karena manusia tak bisa lepas dari segala musibah yang menjadi ujian. Tapi terlepas dari itu, tetap masih banyak hal yang patut disyukuri.

Sabtu, 06 Juli 2013

A Place Where the Art Begin

Studio visit to Nasirun Art House

Memasuki wilayah Perumahan Bayeman Permai yang terletak di Jl Wates Yogyakarta langsung bisa menangkap rumah mana yang menjadi griya milik seniman. Rumah yang penuh dengan tatanan tanaman hijau yang dikolaborasikan dengan bambu-bambu yang unik sangat mengesankan bahwa rumah itu milik seseorang yang berjiwa seni tinggi. Ya, mudah saja menebak bahwa rumah itu milik sang pelukis ternama Jogja, Nasirun.
Ruang Gallery

Memasuki rumah Nasirun saya disambut oleh Pipin, salah satu asistennya yang kemudian mengantarkan saya ke ruang Gallery yang berada di seberang rumahnya. Di perumahan itu, Nasirun memiliki tiga rumah yang bersebelahan. Satu rumah untuk ruang Gallery, satu untuk studio produksi karya, dan satu lagi untuk ditinggali bersama keluarga.
“Pak Nasirun sedang istirahat, silakan lihat-lihat dulu” kata Pipin, sambil berjalan ke Gallery. Sesampainya di Ruang Gallery, saya mendapati beberapa pengunjung lain yang sudah lebih dulu datang. Hari itu Gallery Nasirun sengaja diluangkan untuk studio visit yang menjadi salah satu rangkaian acara Festival Kesenian Yogyakarta.
Ornamen Buah Kelapa

Gallery dan Studio
Karya pertama yang saya jumpai saat pertama kali memasuki Ruang Gallery adalah sebuah patung kerbau karya Budi Ubrux yang sangat identik dengan artistik koran. Ruang Gallery terdiri dari dua lantai dengan konsep borderless, sedikit ruang untuk mengoptimalkan penempatan karya. Ruang utama di lantai satu digunakan untuk memajang karya-karya seniman Indonesia yang dikoleksi Nasirun. Sedangkan lantai dua digunakan untuk memajang karya-karya lain seperti wayang, sculpture, dan instalasi.


Keluar dari Ruang Gallery, pengunjung diajak memasuki rumah Nasirun yang lain, yaitu studio Nasirun. Rumah ini digunakan sebagai ‘dapur’ Nasirun dalam memproduksi karya-karyanya. Banyak sekali keunikan yang disuguhkan di studio ini. Bagian atas rumah ini terdapat buah kelapa sebanyak tujuh ratus buah yang digantung. Tentunya bukan kelapa sungguhan. “Maksud buah kelapa ini sederhana, kita hidup kan tidak bisa lepas dari tanaman ini,” terang Sigit, asisten Nasirun yang memandu pengunjung. Sama halnya dengan ruang Gallery, Studio ini juga terdiri dari lantai. Di lantai dua terpajang lukisan sepanjangan 50 meter yang baru saja diselesaikan Nasirun dkk untuk pameran di Bentara Budaya. Bila dilihat dari karya-karya yang ada di studionya, terlihat bahwa Nasirun selalu mengusung konsep budaya lokal di setiap karyanya.

Sosok Nasirun
Setelah cukup lama saya mengelilingi gallery dan studio, barulah Pak Nasirun menampakkan diri. Meskipun belum pernah bertemu langsung dengan seniman ini, namun kaos hitam, jins belel dan rambut gondrongnya cukup memudahkan saya untuk memastikan sosok Nasirun. Saya dan pengunjung lain kemudian diajak ke ruang tengah untuk ngobrol bersama. Dan nasirun pun mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya.

Nasirun bersama pengunjung
Kesuksesan Nasirun sebagai seorang seniman ternyata tidak terlepas dari perjuangan hidup masa muda yang cukup berat. Sebelum menjadi seniman profesional, Nasirun sempat berjualan batik dan lukisan di wilayah Tamansari dan Malioboro. Titik balik kehidupan karirnya diawali ketika ada seorang penikmat seni asal Australia yang mengagumi lukisannya dan membawa karyanya untuk dipamerkan. Sejak itu karyanya mulai dikenal hingga dikoleksi oleh Oe Hong Djin, kolektor terkenal dari Magelang. Dan saat ini, Nasirun sudah memproduksi lebih dari 1000 karya yang menjadi koleksi banyak kolektor.

Kamis, 31 Januari 2013

Menikmati Wisata 'KW'

Hawa sejuk perkebunannya mengingatkan akan kota hujan, Bogor. Dan bangunan Pura, siapa yang punya pikiran lain selain Bali?


Bukan Indonesia kalau tidak kaya akan keindahan wisatanya. Layaknya produk elektronik yang selalu ada 'KW'nya, kawasan wisata pun nampaknya tak mau kalah. Karanganyar, salah satu Kabupaten di Jawa Tengah ini menyuguhkan alternatif wisata yang menyuguhkan indahnya kebun teh dan bangunan Pura layaknya Bogor dan Bali.

Sekitar 10 kilometer dari jalan raya Solo-Tawangmangu, terdapat kawasan kebun teh Kemuning. Kebun Teh ini siap memanjakan mata dengan hijau daun yang segar. Kemuning terletak di lereng Gunung Lawu dengan ketinggian mencapai 1500 m di atas permukaan laut. Dengan efek angin alami dan hiasan kabut tipis, panorama ini sangat mendukung untuk berfoto bersama.

Track wisata ini tak berhenti sampai Kemuning. Dari kawasan kebun teh, jalan masih berlanjut menanjak ke wilayah yang lebih tinggi. Di ujung bukit terdapat Candi Cetho, Candi hindu yang sarat akan ornamen Pura.  Lingkungan di sekitar candi pun rata-rata penganut Hindu yang giat melakukan ritual di candi. Karenanya, berkunjung ke candi ini layaknya sedang berwisata ke Pulau Dewata.

Tak selamanya yang KW tak berkualitas, bukan? Tertarik? [rin]

Minggu, 23 September 2012

Little Motivation for Bigger Achievement


Sharing dengan orang-orang hebat selalu memberikan kesan yang menarik untuk diingat. Adalah Nopa Widianto, kawan satu organisasi di Unit Penalaran Ilmiah UGM yang berhasil menyumbangkan emas dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2012. Bertemu di salah satu acara workshop PKM di salah satu universitas di Jogjakarta, kawan saya ini bercerita tentang pengalamannya bertanding di pimnas. Dari serangkaian ceritanya, saya tertarik  dengan salah satu kalimatnya, “Motivasi saya bikin PKM waktu itu simple, saya cuma pengen naik pesawat, eh dikasih bonus emas pas pulang, ya Alhamdulillah.”

Saya menyimpan baik-baik penggalan kalimat itu di benak saya. Sederhana namun bermakna. Kalimat itu memberikan inspirasi bahwa motivasi kecil, jika itu murni dari diri kita dan kita suka, akan memudahkan kita untuk melakukan sesuatu tanpa beban. Mengaku berasal dari lingkungan yang sederhana, ide PKM yang ia buat pun berangkat dari hal yang sederhana. Di wilayah tempat tinggalnya, masyarakat masih kesulitan membuat olahan makanan tradisional yang berasal dari saripati ubi karena pembuatannya masih manual. Berlatar belakang diploma elektronika, dirinya berinisiatif membuat suatu alat yang dapat memudahkan pembuatan saripati ubi. Fakta ini mengingatkan bahwa motivasi sederhana akan membuat seseorang akan lebih ikhlas melakukan sesuatu. Achievement akan mengikuti kemudian.

Mengapa saya tertarik untuk membahas hal ini? Karena prinsip motivasi sederhana yang dilakukan kawan saya tadi sejalan dengan apa yang ada di kepala saya.  Sayapun juga beberapa kali melakukan sesuatu dengan motivasi sederhana yang mungkin malah bisa dibilang konyol. Saya teringat kegemaran saya mengajar di sekolah-sekolah sebagai pengajar lepas, waktu itu hanya dilandasi kesenangan saya menulis dengan boardmarker di whiteboard. Sangat sepele. Beberapa kali orang-orang terkekeh mendengar motivasi saya, tapi ya that’s the way I am. Sekarang-sekarang ini memang saya belum bisa membuktikan suatu real achievement terkait motivasi sederhana seperti kawan saya tadi, tapi setidaknya saya merasakan betul suatu perasaan tanpa beban ketika melakukan pekerjaan kita. 

Kamis, 20 September 2012

Hotwave5: A Kind of an Extraordinary ‘Undongable’ Discussion


It’s a nice experience when we as an outsider people come to specific event that we haven’t ever joined before. It was Hotwave5, the name of a Residency Talk held by Cemeti Art House, one of art gallery in Jogjakarta, for its residency artist. It quite hard to explain what is residency, but in my simple word, it’s like a research for art artist to get a higher level of recognition. In academic, it’s like thesis for a post graduate student, and Residency Talk is like a proposal seminar that attended by anyone who will.

There were 3 residency artist came from other country; Agnes Christina from Singapore, Alex Cuffe from Australia, and Ellert Haitjema from Netherland.  Each artist has their own art style. Christina interested to explore theatrical art, Ellert prefer to make ordinary stuff to be another meaningful thing, then Alex also used ordinary property to make some artistic installation.


The event was just like an art discussion, mostly. The artist began with shared their interest of making art work, and then discussed it with the audience. Actually I confused when the artist explained their work. I just could enjoy the image in the projector. Initially, I thought that it was my listening problem, so I couldn’t catch what the artist said. In my point of view, only Christina, Singapore artist, who could deliver her point clearly. But, when the discussion opened, I started to catch that actually most of the audience, that mostly come from art academic and community, don’t really understand the explanation too. When audience asked to the artist, they looked confused with their own question. So the artist answered with different way, which’s not in the audience mind. It was so crowded, but this is the interesting point. One noticeable question was when the audience asked about one of artist’s artwork that seems to be so sensitive. How can’t? The art work was the poster of the ex king of Jogjakarta, and he put the shoe above it. Wonderful art work to be debated. It spent a half of the event to discuss this art work.

It’s quite interesting. Actually the case was so clear, but one thing that makes that discussion so long was art artist has their own idealism. It’s not only for the last topic I tell here, but for the overall discussion. It’s almost similar. Let say, ‘whatever u say, I have my own point of view, and I as long I think it’s fine, it will be fine’.  Artists have their own style in delivering something, so unique. But for common people like me, it’s quite hard to understand. And another artist it’s getting harder to understand because no one could open their mind to accept another. For me, take from javanesse word, I just can say it’s a kind of a extraordinary ‘undongable’ event. But for sure, I will come to this kind event again.  

Sri Gethuk: Another Green Canyon of Jogja

Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu sudut Daerah Istimewa Yogyakarta yang sarat akan wisata alam. Mulai dari perbukitan, pantai pasir putih, gua, hingga air terjun tersimpan di sana. Obyek wisata di kawasan ini telah menjadi sasaran berlibur yang digemari. Letaknya yang cukup jauh dari kota tak menyurutkan minat pengunjung untuk berlibur di wilayah ini.

Salah satu rintisan wisata air yang sedang berkembang adalah Air Terjun Sri Gethuk, wisata air yang terletak di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. Belum terlalu terkenal memang, namun potensi wisata ini tak kalah menggiurkan.

Obyek wisata yang baru dikembangkan dalam dua tahun ini merupakan obyek wisata air terjun yang berada di aliran sungai Oya. Berdinding tebing tinggi dan pepohonan sepanjang sungai, kawasan ini terlihat sangat menarik dan asri. Disuguhi warna air sungai yang hijau jernih, mata pengunjung seolah dirayu untuk segera terjun menikmati air sungai.

Kawasan ini dikelilingi bukit batu kapur. Untuk mencapainya, diperlukan akses yang cukup panjang. Pengunjung harus melewati jalan batu kapur yang putih dan terjal. Di sepanjang jalan menuju obyek wisata, mata disuguni oleh kegiatan penambangan batu kapur secara manual oleh warga sekitar. Sesekali ada pula alat berat yang menggempur bebatuan. Jalanan yang sempit dan kawasan desa yang sepi, mengesankan seolah anda adalah satu-satunya pengunjung yang punya inisiatif singgah kesana. Namun, setelah menyusuri jalan yang cukup berulir, mata anda akan dicengangkan oleh lahan parkir yang dipenuhi oleh mobil dan motor.

Kawasan ini memang telah menjadi sasaran wisata alternatif dengan biaya yang cukup terjangkau. Biaya masuk kawasan ini hanya 3000 rupiah, itupun sebagai kontribusi parkir. Sesampainya di lokasi, pengunjung disuguhi pemandangan sungai hijau di bawah tebing. Untuk menikmati kawasan ini, pengunjung difasilitasi oleh perahu diesel dengan membayar 7500. Perahu ini akan membawa pengunjung ke lokasi air terjun. Jika berminat berenang, cukup menyewa pelampung seharga 5000 rupiah. Lelah bermain air, pengunjung dapat melepas lelah dengan kelapa muda dan Tiwul, makanan khas Gunung Kidul.

Minggu, 25 Maret 2012

Menengok Busway di Ibu Kota



Jakarta adalah kota dengan fasilitas publik yang cukup maju daripada kota-kota lain. Meski hingga saat ini volume kendaraan masih padat, kota ini telah memiliki desain transportasi yang terintegrasi. Fasilitas transportasi publik yang terintegrasi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan infrastruktur kota. Sebut saja busway. Fasilitas transportasi publik ini sudah didesain untuk memudahkan orang mencapai tujuan dengan sekali naik bus. Transportasi ini telah didesain dengan halte yang diintegrasikan dengan berbagai fasilitas umum lain, seperti stasiun kereta, pusat perbelanjaan, dan pusat-pusat transit lainnya.

Hadirnya transportasi ini memang bertujuan untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Namun dalam prakteknya, transportasi publik ini tidak lepas dari masalah-masalah baru yang menjadi imbas dari pembangunan busway ini. Busway memiliki jalur sendiri yang memungkinkan perjalanan tanpa hambatan. Di sisi lain, jalur transportasi umum menjadi lebih sempit, sehingga masalah barunya pun dengan mudah ditebak. Banyak kendaraan-kendaraan yang menggunakan jalur busway yang notabene akan membebaskannya dari kemacetan.

Pemerintahpun tak tutup mata dengan beraksi membuat gate pada jalur busway yang hanya dibuka jika ada bus lewat. Masing-masing gate dijaga oleh petugas dan lalu lintas diatur oleh polisi lalu lintas. Namun lucunya, hal ini tidak menghalangi para pengguna kendaraan bermotor untuk tetap menggunakan jalur busway. Ketika gate masih ditutup, para pengguna sepeda motor menunggu di depan gate sampai ada busway yang lewat. Saat bus melewati gate, pengguna sepeda motor pun turut mengiringi bus di belakang. Yang mengherankan adalah, lalu dimana fungsi para penjaga gate? Bukankah mereka ditugaskan untuk menjaga gate supaya digunakan sebagaimana mestinya? Kenyataan di lapangan para petugas tetap membiarkan para pengguna sepeda motor melintasi jalur busway.

Masalah lalu lintas semacam ini bukan hanya semata-mata karena urusan melanggar peraturan. Namun lebih jauh dari itu, melanggar peraturan dapat memberikan dampak yang buruk bagi sesama pengguna jalan. Belum lama pada Januari 2012 dilaporkan dalam website republika, terjadi kecelakaan 11 motor di jalur busway di wilayah Pejaten, Jakarta. Hal itu merupakan salah satu contoh dampak secara langsung yang mungkin terjadi ketika pengguna jalan tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Pemerintah mungkin sesekali perlu bepergian menggunakan busway supaya melihat sendiri kenyataan dilapangan dan segera membuat aksi strategis berikutnya untuk mengatasi masalah pelanggaran tersebut.