Halaman

Sabtu, 26 Juni 2010

Additional Power from Panic

Melakukan sesuatu yang sudah diniati dari dalam hati terkadang masih sulit untuk direalisasikan lantaran sifat dasar seseorang: malas. Terlebih ketika hal yang ingin dilakukan merupakan sebuah inisiatif pribadi yang tidak ada harga mati berapa lama melakukannya. Contoh saja ketika seseorang sedang berinisiatif ingin merapikan kamar tidurnya. Sebenarnya tidak dirapikan pun tidak akan menjadi masalah selama masih dirasa nyaman. Persepsi semacam itulah yang kadang menyelimuti niat baik seseorang yang sebenarnya sudah berinisiatif membersihkannya. Maka timbullah perasaan malas dan membelenggu power seseorang untuk beranjak melakukan niatnya.

Namun ketika tiba-tiba ada seorang teman atau saudara yang ingin menginap di kamarnya, pasti akan timbul suatu respon yang berbeda. Niat membersihkan kamar bukan lagi hanya sekedar niat, namun seolah telah dikonversi menjadi sebuah power yang menggerakkan seseorang untuk segera melakukannya. Perasaan malu, jaim(jaga image), takut dan sebagainya seolah menjadi sebuah bumbu ajaib yang mampu mendorong seseorang untuk melakukan suatu hal.

Contoh di atas hanya sebuah analogi terkait apa yang memang dialami anak muda pada umumnya. Kebanyakan orang masih belum memberikan penghargaan yang besar terhadap dirinya sehingga dengan mudah me-nego komitmen yang telah disusunnya sendiri. Melawan keinginan-keinginan yang bertentangan dengan komitmen awal memang menjadi sebuah dilema tersendiri bagi seseorang. Dan hal itu hanya mampu dikendalikan oleh orang itu sendiri. Ketika melihat fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu dengan baik dan lebih cepat ketika mendapat sebuah deadline atau harga mati terhadap sesuatu yang dikerjakannya, ada baiknya mulai memikirkan reward and punishment untuk diri sendiri. Bentuknya seperti apa tentu saja ditentukan oleh masing-masing orang. Langkah kecil menuju konsistensi yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar