Halaman

Sabtu, 02 September 2017

Waerebo: Pesona Budaya Indonesia dari Tanah Flores

Nama Waerebo kian menjadi destinasi populer bagi para pecinta travelling. Desa yang terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ini menyuguhkan rumah adat yang bisa dikunjungi bahkan ditinggali oleh para wisatawan. Di desa yang identik dengan rumah-rumah kerucut ini, pengunjung dapat merasakan sensasi lingkungan tradisional yang erat dengan tradisi budaya penduduk asli setempat.

Perjalanan Panjang
Untuk mencapai Waerebo diperlukan perjalanan yang cukup panjang. Wisatawan yang datang dari luar Flores umumnya mendarat di Bandara Komodo, Labuan Bajo. Dari Labuan Bajo, diperlukan perjalanan darat selama kurang lebih lima jam dengan medan yang cukup 'memabukkan'. Setelah perjalanan darat menggunakan kendaraan, masih dilanjutkan dengan berjalan kaki menaiki bukit selama tiga jam. Lelah memang, namun rasa lelah segera terbayarkan ketika perjalanan sudah mulai melandai dan atap-atap kerucut mulai terlihat dari kejauhan.

Rasa lelah semakin tersingkir saat mencapai pos selamat datang sebagai penanda pintu masuk ke desa. Di pos ini, wisatawan diberikan pengarahan terlebih dulu oleh penjaga desa setempat terkait norma-norma adat yang perlu diperhatikan saat berada di lingkungan Waerebo.

Kopi dan Kayu Manis
Memasuki halaman desa, wisatawan akan disuguhi dengan rumput hijau yang di sudut-sudutnya terbentang bijih kopi dan kayu manis yang sedang dijemur. Seorang lelaki tua sesekali merapikan susunan bijih kopi dan kayu manis yang menjadi sumber penghidupan penduduk di sana. Di sudut lain, anak-anak kecil ramai berlarian di halaman tanpa ada rasa sungkan ketika wisatawan datang.

Wisatawan yang datang akan langsung disambut oleh pemandu untuk diajak memasuki rumah utama. Di rumah utama ini, wisatawan disambut oleh pemangku adat dengan ritual adat setempat untuk meminta izin kepada leluhur mereka atas kehadiran para pendatang. Setelah ritual penyambutan, wisatawan dipersilakan untuk masuk di rumah kerucut lain untuk menginap.

Rumah kerucut lima lantai
Desa wisata ini terdiri dari delapan rumah berbentuk kerucut beratap jerami hitam. Meski tampak kecil dari luar, rumah ini dapat menampung puluhan orang. Rumah ini terdiri dari lima lantai, dimana lantai dasar merupakan ruang utama yang bisa ditinggali hingga delapan garis keturunan. Di lantai dasar inilah tamu-tamu wisatawan dipersilakan untuk singgah dan menginap. Setiap tamu sudah disiapkan alas tidur, bantal, dan selimut yang disusun melingkari ruangan. Sementara itu, di tengah ruangan disusun bantal-bantal jerami kecil sebagai alas duduk untuk makan. Seluruh tamu yang singgah akan disuguhi makan pagi, siang, dan malam dengan masakan rumah ala desa mereka lengkap dengan kopi khas racikan ibu-ibu Waerebo.

Di tengah ruangan lantai dasar terdapat tangga vertikal dari bambu untuk menuju lantai atas. Di lantai dua dan tiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan, lantai empat sebagai tempat menyimpan benih, dan lantai lima sebagai tempat bahan-bahan sesaji yang disebut langkar.

Meski berada di tanah Nusa Tenggara, suku asli Desa Waerebo ini berasal dari suku Minangkabau di Sumatera Selatan. Suku Asli yang bernama Suku Modo ini datang dari barat Indonesia berpindah-pindah hingga akhirnya menemukan dataran di Waerebo untuk menetap. Tak heran, rumah kerucut di desa ini memang cukup identik dengan rumah adat minangkabau.

Sekolah dan Kesehatan
Berada jauh dari pemukiman warga lain, anak-anak Desa Waerebo tak lantas tak sekolah. Dua kali dalam seminggu, datang guru dari desa terdekat untuk mengajar anak-anak. Untuk menunjang pembelajaran di Waerebo, di sudut bukit dibangun perpustakaan. Perpustakaan ini menampung buku-buku yang dibawa relawan ataupun wisatawan yang berkunjung ke Waerebo. Tak hanya pendidikan, kesehatan di Waerebo juga diperhatikan dengan adanya mantri yang siap berjaga di pos kesehatan yang letaknya bersebelahan dengan perpustakaan.





Minggu, 07 Mei 2017

Nostalgia Mengajar di Kota Pelajar

Sabtu (4/2), jam 5 pagi saya sudah bersiap di depan rumah dengan pakaian rapi dan ransel di punggung. Tidak ada bangun siang di akhir pekan ini. Pagi buta itu, saya bergegas ke daerah cangkringan untuk bertemu dengan kawan-kawan relawan Kelas Inspirasi Yogyakarta (KI).

Saya dan sembilan relawan lain akan mengajar siswa sekolah dasar di lereng merapi. Semalam, kawan relawan yang datang dari luar kota menginap di basecamp dekat sekolah. Di tempat ini pula semua relawan berkumpul sebelum melangsungkan kegiatan.

Sampai di basecamp saya disambut Imam Si Penulis, Hasan CEO Startup, Hardy Si Fotografer, dan Budi, fasilitator kelompok kami. Sementara di kamar, ada Lilin Si Desainer dan Anin si Reporter tv. Mereka masih bersiap. 

Setelah saya datang, menyusul Dokter Vike dan Tika Si Videografer yang datang dari Semarang. Tak lama setelahnya muncul Eko Si Engineer, dan Bejo Si Bankir yang baru datang langsung dari Surabaya. Kami pun berangkat sama-sama ke SD Negeri Watuadeg. Sampai di sekolah, kami disambut ibu kepala sekolah yang sudah bersama Dina Sang Aviation Security, Hilmi Si Fasilitator, dan duo fotografer Tia dan Putri.

Memperkenalkan Profesi
Jam tujuh pagi, sebelum para siswa memasuki kelas, mereka dikumpulkan di lapangan sekolah untuk berkenalan dengan kami yang tentu lebih muda dari Bapak-Ibu Guru mereka. Beberapa siswa tampak antusias meski yang lain ada pula yang tampak masih kebingungan.

Kami berkenalan satu persatu dengan nama dan profesi kami masing-masing. Buat saya yang profesinya tidak seumum dokter atau desainer, sesi ini selalu jadi bagian yang sulit. Profesi saya analis pengangkutan gas bumisebuah istilah profesi yang mungkin cukup pelik bila didengar oleh anak SD. Di depan siswa, saya memperkenalkan diri sebagai analis migas supaya lebih sederhana. Namun istilah migas pun masih cukup asing di telinga anak-anakBaru setelah saya jelaskan sedikit pengertian minyak dan gas bumi dengan memberi contoh produk yang ada di sekitar mereka seperti bensin yang mereka beli di SPBU, baru mereka sedikit paham ruang lingkupnya.

Dinamika di kelas
Saat mengajar di kelas, masing-masing relawan membawa amunisi untuk mendukung materi yang akan disampaikan. Dokter membawa stetoskop dan baju putihnya, reporter membawa microphone untuk reportase, dan saya menggunakan peta Indonesia untuk mengenalkan daerah-daerah di Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan migas. 

Jumlah murid dalam satu kelas tak cukup banyak, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh anak. Namun jumlah yang kecil ini tidak serta merta membuat proses belajar jadi lebih mudah. Nyatanya, para relawan tetap saja mengaku kehabisan energi selama mengajar.

Masing-masing relawan punya kesempatan mengajar di tiga kelas. Saya berkesempatan mengajar di kelas 2, 5, dan 6. Mengajar kelas 5 dan 6 bukan hal yang sulit. Siswa pada jenjang ini sudah cukup mudah diatur. Tak butuh waktu lama untuk mengondisikan kelas supaya siap belajar. Para siswa pun mudah memahami materi. Pada sesi kuis di akhir pelajaran, para siswa selalu berebut mengangkat tangan ketika diberikan pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.

Lancar di kelas sebelumnya tak membuat saja lebih percaya diri mengajar di kelas 2. Benar saja, di kelas ini saya butuh energi ekstra untuk mengondisikan kelas mengingat siswa di jenjang ini lebih kanak-kanak. Mereka lebih mudah bosan dan polos dalam menyampaikan segala hal. Bila kelas tak menarik, siswa-siswa tanpa sungkan berlarian ke luar kelas dan mengganggu kelas lain. Di kelas ini, saya lebih banyak mengandalkan ice breaking seperti game dan bernyanyi supaya siswa tertarik untuk tetap tinggal di kelas.

Meski menyenangkanmengajar anak sekolah dasar memang tak bisa dibilang mudah. Meski sudah beberapa kali berhadapan dengan anak SD, saya tetap saja merasa grogi setiap kali memasuki kelas. Karena masih sangat polos, mereka mudah mengungkapkan apa yang mereka rasakan tanpa sungkanDan disitu adalah challenge yang mendorong saya untuk terus belajar bagaimana menyampaikan materi dengan baik kepada anak-anak.
Ajang Nostalgia
Terlepas dari dinamika menarik yang selalu bisa ditemukan di sekolah, KI Yogyakarta punya nilai lebih tersendiri buat saya. Mengajar di kampung halaman adalah sebuah nostalgia atas kegiatan saya saat saya kuliah. Walaupun dulu tak pernah mengajar anak SD, setidaknya saya kembali ke dunia sekolah di tempat tinggal saya. Ada kepuasan tersendiri ketika sudah bekerja jauh dari kampung halaman kemudian kembali dan berkontribusi langsung untuk anak-anak sekolah. Mungkin memang tak berdampak banyak, tapi berbuat lebih baik daripada diam, bukan?

@kusdwilestarin

Sabtu, 14 Januari 2017

[Diary clipping] Andalusia Goes To National Museum

Oleh: Sini Sri Gusdinar

Hari Minggu aku diajak jalan-jalan ke museum nasional, aku mau cerita tentang jalan-jalan minggu lalu ya.

Aku jalan ke museum Gajah. Museum Nasional itu sering dipanggil Museum Gajah. Tahu kenapa? Soalnya ada patung gajahnya. Bisa dibilang museum itu keren banget, soalnya disitu banyak banget benda yang baru aku lihat, dari mulai tempat dan semua isinya, karena aku baru pertama datang ke Museum Gajah.

Disana banyak patung manusia purba, keren deh. Terus banyak miniatur rumah adat gitu, lucu banget. Tadinya kalau bisa, pengen aku bawa pulang. Tapi sayang banget dipegang juga nggak bisa.

Aku paling suka ke tempat yang banyak banget koleksi dari keramik sama emas. Ternyata mahkota-mahkota kerajaan dulu disimpan disitu banyak banget, dan itu semua dibikin dari emas. Oiya, disitu juga ada tempat orang ngebatik, dan bisa ikut nyobain juga. Ternyata ngebatik itu susah banget. Ada latihan nari gitu, tadinya pengen banget ikut, tapi karena nggak bisa gajadi deh. Ada juga pertunjukan musik tradisional juga. Kalian yang belum pernah ke museum gajah harus kesana ya, karena itu keren banget untuk ngisi waktu libur.

***

Oleh: Annisa FA

Minggu kemarin tepatnya tangga 9 Januari 2017, aku bersama teman-teman dan kakak kelas diajak jalan-jalan sama guru les inggris yang cantik dan baik hati. Kamu tahu aku diajak kemana? Ke museum nasional.

Aku senang sekali karena itu pertama kali aku kesana. Aku dan teman-teman naik grab car, sekitar pukul 10 WIB. Disana aku melihat banyak sekali benda yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dan yang paling aku suka, waktu kami di lantai 4. Disana banyak sekali perhiasan kerajaan zaman dulu. Ah, andai saja aku boleh mengambil salah satu dari perhiasan tersebut, mungkin aku sudah kaya, hahaha.

Tiba-tiba saat melihat-lihat koleksi di lantai 3, Kak Novi merasa kepalanya pusing. Dan akhirnya kami turun ke bawah dan pulang mengantar ke asrama. Setelah mengantar kak Novi ke kamar, kami melanjutkan perjalanan untuk mengisi perut kami yang keroncongan. Kami tiba di sebuah tempat makan solo. Kami memesan makanan dan minuman, lalu menyantapnya bareng-bareng. Setelah semuanya beres, kami pulang ke asrama. Dan jalan-jalan hari minggu pun berakhir.

Selasa, 10 Januari 2017

A Little Vacation for Andalusias

Saturday (7/1/2017)

At about 10 am, Nova, Novi, Icha, Linda, and Sini was already in a good outfit. Everyone brought a small pouch on their shoulder. They're ready for a little reward for their good exam report last semester. They would go to National Museum of Indonesia in Central Jakarta. Finally they had a little fun thing to do outside the dorm in their last school holiday.

Cultural classes
It was their first time visiting National Museum of Indonesia. Entering the front hall of the building, they found some people practicing traditional dance. They froze for a moment watching people practicing Pendet, a traditional dance from Bali. Every participants wore a colourful shawl and corset on their belly. They moved their body and made a beautiful motion as the music played.

Exploring another corner, the girls moved their eyes to some people who played Gamelan (javanese music instrument). They walked to the Gamelan corner and watched people pushed the instrument that created a great sound. This traditional music instruments usually used as a musical accompanishment for javanese dance or javanese traditional shadow puppet.

Beside the gamelan corner, there was an old man making Batik (Indonesia traditional pattern). The girls came to the Batik corner and welcomed to practice making batik. The man gave the girls some patterned fabric, and what they need to do was just thickening the pattern using a tools called canting. This tools was just like a pen that filled with traditional ink. Everyone tried making batik one by one and realized that making batik was not that easy. They had to be careful in moving their hand, or the ink would just flowover the pattern. It needs a good accuracy and patience. That's why a hand made Batik is always expensive.


Every Saturday, National Museum of Indonesia provide some cultural classes and the visitors can join for free. It was the latest innovation of this museum to bring traditional culture closer to the people. It was really good program to educate people by giving personal experience. However, those cultural class is just an appetizer to attract visitors. The main course was actually in the room next the hall where various collections are placed.

Precious Collections
Entering the collection room in the ground floor, these five girls welcomed by a replica of ancient humans. This rooms brought the visitors to prehistoric life. There were some human fossils and other relics that found in Indonesia. 

Tabuik
The girls took some picture before they found a replica of tabuik in the corner of the room. It's a ceremony to remember the death of grandson of Prophet Muhammad SAW, Husain Ali. The word tabuik was originated from Arabic which means coffins. Some muslims believed the body of Husain was lifted up to the sky by Buroq. Buroq was symbolized by the figure of a horse with human head. 

Finished exploring the first floor, the girls went upstairs and they found another collections. There were many kind of inscriptions written in Sansekerta, Tionghoa, and Arabic language. They also found many traditional tools from all around tribe in Indonesia such as compas, globe, watercraft, and many others. There were also displayed replica of Borobudur, and traditional houses from various province. This floor was about the result of science and technology from ancient people.

Went one more upstairs, they found precious historical collections made from gold and ceramics. In the past, ceramics brought by traders when sailed to Indonesia. The collections were so fabulous. However, this floor was quite restricted. The visitors were prohibited take picture due to security of the stuffs. The regulator of the museum anticipated of any criminality by imitating the collection for specific purpose.

@kusdwilestarin

Kamis, 03 November 2016

Menteri Jonan: BPH Migas Perlu Diperkuat

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan bahwa keberadaan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) perlu diperkuat. Hal itu disampaikan dalam kunjungannya ke BPH Migas pada Kamis (3/11).
"Setelah berdiskusi dengan Bapak-Bapak ini (Komite BPH Migas), saya merasa tugas BPH Migas ini memang penting. Terlebih akan ada upaya BBM satu harga," Ungkap Jonan saat memberikan pengarahan kepada seluruh staf BPH Migas. Jonan mengatakan bahwa karirnya selama dua puluh satu bulan menjabat sebagai Menteri Perhubungan memberikannya wawasan tentang proses distribusi migas di Indonesia yang memang tidak mudah.
Saat ditanya tentang RUU Migas yang hasilnya nanti akan berkaitan dengan keberadaan BPH Migas, Jonan berjanji akan berupaya untuk mempertahankan badan tersebut. "RUU itu kan nanti DPR, kita nggak tahu. Tapi saya akan usahakan yang terbaik." Papar Jonan.
Sejak menjabat sebagai Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengagendakan untuk berkunjung ke unit-unit eselon I di bawah kementerian yang dipimpinnya untuk beramah tamah dan memberikan arahan.
Kunjungannya ke BPH Migas diawali dengan rapat terbatas dengan Kepala BPH Migas dan Para Komite dan dilanjutkan dengan pemberian pengarahan kepada seluruh staf BPH Migas.

3 Hal Penting Jadi Pemimpin

Satu hal paling penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kemampuan memberi contoh. Hal itu disampaikan oleh Menteri ESDM, Ignasius Jonan.

"Yang lain-lain boleh nggak punya, tapi ini harus. Jadi pemimpin harus bisa jadi teladan,"ungkap Jonan pada saat memberikan pengarahan kepada seluruh staf BPH Migas di Gedung BPH Migas.

Hal penting lainnya yang juga perlu dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kemampuan untuk bertanya dan menyuruh. "Kan yang ngerjakan nanti orang lain, kalo ngga bisa itu, nanti gimana bisa tahu pekerjaan seperti apa," paparnya.

Jonan menuturkan bahwa menjadi pemimpin tidak ada alasan untuk tidak tahu atas segala hal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Maka wajib bagi pemimpin untuk punya kemampuan bertanya dan menyuruh dengan cara yang cerdas supaya tidak menimbulkan tekanan bagi orang lain.

"Kadang orang mau tanya kan sungkan ya. Misal ada perempuan, kita mau tanya sudah punya suami atau belum, kan nggak enak kalau tanya langsung begitu, nanti tersinggung. Coba tanya, suaminya dines dimana mbak? Oh saya blm punya suami pak. Kan lebih enak," kelakar Jonan memberi contoh yang kemudian disambut dengan tawa oleh para staf.

Alumnus Universitas Airlangga ini mengaku tidak pernah mencatat semasa kuliah, namun selalu mendapat nilai yang baik karena bermodal catatan teman. Tanpa memandang sebelah mata orang-orang yang rajin dan tekun, Jonan ingin menunjukkan bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk mencapai tujuannya. "Yang penting kita melakukannya dengan akal sehat," pesannya.

Rabu, 02 November 2016

Bartering a Little Wishes

Sunday morning (30/10) at a dorm of orphans

As i guessed, the girls had a free time to do anything for themselves like washing clothes, ironing, or even take a nap. As I entered the girl's rooms and sat in some space in the corner, the girls greeted me then moved and sat around me immediately.

We discussed their homework for appetizer, then had a fun long chat. They loved to share me anythings about their dorm, school, teacher, and their hobbies. 

"Do you like novel?" Icha asked me then told me how they love to read novel but only have few of it given from visitors. They often borrow novel from their schoolmate or school library.

I said I read some, but i don't have much. "I have a novel in my room if you want to read, but written in English," I offered.

Yahh.. I heard girls muttered. "Don't you have the common novel in bahasa?" Linda wished. She told me they rarely get books that meets their desire. "Look, we actually have a few books but no one read them," Linda said while pointed to a desk. She took one of the book and showed it to me. She showed me a novel written in English by Michael Scott, The Magician. "We also have a novel written in English, but we don't read it because we don't understand. We even don't know what this novel about." Linda explained the book she brought.

"Hmm, it seems a great fantasy novel," i said while taking the book. I actually don't really know about that novel. But read it in glance i got what this book probably about. "This book is really good for learning English." Still hold and open some pages, i said that this book must have a great story just like another Harry Potter, my favorite novel.

"Ya, but we don't understand," Icha said. "You can have it if you like," she then offered me. 

"Yaa, it would be more useful if you read it than just stay on our desk," Linda added. Then others girls followed saying yaa indicated there's no objection at all. 

I gave a little smile, but actually I felt so pleased. This kind of novel was just my cup of tea. I ever though what else i can read after finished the latest novel of Harry Potter. I need another fantasy literature, but have no idea.

"Well, so what novel you love to read actually?" I asked them switching the topic.

"I love Tere Liye's," Icha mumbled with a dreaming expression while clapped her hand in front her chest. And her sound followed by other girls that in line with her.

"Tere Liye? You love his books?" 

"Yaa! I'd read some and i love it," Icha answered enthusiastically. "Tentang Kamu is the latest novel. But I still wait the school to have it so I can borrow."

Surprisingly, the other girl love that novel too, and they shared me the story about Tere Liye's novel they already read. Thought it would be good if they completed their desk with a novel the love.


***

You don't care, unless you're really there - Rene Suharsono

@dwilestarin / @kusdwilestarin