Halaman

Minggu, 07 Mei 2017

Nostalgia Mengajar di Kota Pelajar

Sabtu (4/2), jam 5 pagi saya sudah bersiap di depan rumah dengan pakaian rapi dan ransel di punggung. Tidak ada bangun siang di akhir pekan ini. Pagi buta itu, saya bergegas ke daerah cangkringan untuk bertemu dengan kawan-kawan relawan Kelas Inspirasi Yogyakarta (KI).

Saya dan sembilan relawan lain akan mengajar siswa sekolah dasar di lereng merapi. Semalam, kawan relawan yang datang dari luar kota menginap di basecamp dekat sekolah. Di tempat ini pula semua relawan berkumpul sebelum melangsungkan kegiatan.

Sampai di basecamp saya disambut Imam Si Penulis, Hasan CEO Startup, Hardy Si Fotografer, dan Budi, fasilitator kelompok kami. Sementara di kamar, ada Lilin Si Desainer dan Anin si Reporter tv. Mereka masih bersiap. 

Setelah saya datang, menyusul Dokter Vike dan Tika Si Videografer yang datang dari Semarang. Tak lama setelahnya muncul Eko Si Engineer, dan Bejo Si Bankir yang baru datang langsung dari Surabaya. Kami pun berangkat sama-sama ke SD Negeri Watuadeg. Sampai di sekolah, kami disambut ibu kepala sekolah yang sudah bersama Dina Sang Aviation Security, Hilmi Si Fasilitator, dan duo fotografer Tia dan Putri.

Memperkenalkan Profesi
Jam tujuh pagi, sebelum para siswa memasuki kelas, mereka dikumpulkan di lapangan sekolah untuk berkenalan dengan kami yang tentu lebih muda dari Bapak-Ibu Guru mereka. Beberapa siswa tampak antusias meski yang lain ada pula yang tampak masih kebingungan.

Kami berkenalan satu persatu dengan nama dan profesi kami masing-masing. Buat saya yang profesinya tidak seumum dokter atau desainer, sesi ini selalu jadi bagian yang sulit. Profesi saya analis pengangkutan gas bumisebuah istilah profesi yang mungkin cukup pelik bila didengar oleh anak SD. Di depan siswa, saya memperkenalkan diri sebagai analis migas supaya lebih sederhana. Namun istilah migas pun masih cukup asing di telinga anak-anakBaru setelah saya jelaskan sedikit pengertian minyak dan gas bumi dengan memberi contoh produk yang ada di sekitar mereka seperti bensin yang mereka beli di SPBU, baru mereka sedikit paham ruang lingkupnya.

Dinamika di kelas
Saat mengajar di kelas, masing-masing relawan membawa amunisi untuk mendukung materi yang akan disampaikan. Dokter membawa stetoskop dan baju putihnya, reporter membawa microphone untuk reportase, dan saya menggunakan peta Indonesia untuk mengenalkan daerah-daerah di Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan migas. 

Jumlah murid dalam satu kelas tak cukup banyak, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh anak. Namun jumlah yang kecil ini tidak serta merta membuat proses belajar jadi lebih mudah. Nyatanya, para relawan tetap saja mengaku kehabisan energi selama mengajar.

Masing-masing relawan punya kesempatan mengajar di tiga kelas. Saya berkesempatan mengajar di kelas 2, 5, dan 6. Mengajar kelas 5 dan 6 bukan hal yang sulit. Siswa pada jenjang ini sudah cukup mudah diatur. Tak butuh waktu lama untuk mengondisikan kelas supaya siap belajar. Para siswa pun mudah memahami materi. Pada sesi kuis di akhir pelajaran, para siswa selalu berebut mengangkat tangan ketika diberikan pertanyaan tentang materi yang telah diberikan.

Lancar di kelas sebelumnya tak membuat saja lebih percaya diri mengajar di kelas 2. Benar saja, di kelas ini saya butuh energi ekstra untuk mengondisikan kelas mengingat siswa di jenjang ini lebih kanak-kanak. Mereka lebih mudah bosan dan polos dalam menyampaikan segala hal. Bila kelas tak menarik, siswa-siswa tanpa sungkan berlarian ke luar kelas dan mengganggu kelas lain. Di kelas ini, saya lebih banyak mengandalkan ice breaking seperti game dan bernyanyi supaya siswa tertarik untuk tetap tinggal di kelas.

Meski menyenangkanmengajar anak sekolah dasar memang tak bisa dibilang mudah. Meski sudah beberapa kali berhadapan dengan anak SD, saya tetap saja merasa grogi setiap kali memasuki kelas. Karena masih sangat polos, mereka mudah mengungkapkan apa yang mereka rasakan tanpa sungkanDan disitu adalah challenge yang mendorong saya untuk terus belajar bagaimana menyampaikan materi dengan baik kepada anak-anak.
Ajang Nostalgia
Terlepas dari dinamika menarik yang selalu bisa ditemukan di sekolah, KI Yogyakarta punya nilai lebih tersendiri buat saya. Mengajar di kampung halaman adalah sebuah nostalgia atas kegiatan saya saat saya kuliah. Walaupun dulu tak pernah mengajar anak SD, setidaknya saya kembali ke dunia sekolah di tempat tinggal saya. Ada kepuasan tersendiri ketika sudah bekerja jauh dari kampung halaman kemudian kembali dan berkontribusi langsung untuk anak-anak sekolah. Mungkin memang tak berdampak banyak, tapi berbuat lebih baik daripada diam, bukan?

@kusdwilestarin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar