Hari Kamis (31/10), saya berkunjung lagi ke Pondok Suruh
Sleman, salah satu pondok pesantren yang diperuntukkan bagi anak-anak yatim. Sesampainya
di Pondok saya celingukan mencari wajah mungil yang biasanya ribut di tengah
orang-orang yang membaca doa sebelum berbuka. Tapi hari itu pencarian saya
nihil. Syifa tidak terlihat batang hidungnya.
Selesai doa, saya menanyakan keberadaan Syifa pada salah
satu santri. “Sudah pulang,” jawabnya. Yaah,
ucap saya dalam hati. Syifa sudah kembali ke tangan ibunya sejak lebaran.
Di satu sisi saya lega, anak itu bisa kembali berkumpul dengan ibunya. Tapi di
sisi lain sedih juga karena tidak lagi bisa melihat wajah mungilnya.
Syifa adalah santri termuda di pondok. Anak ini menjadi
seorang yatim di usianya yang baru tiga tahun. Ibunya terpaksa menitipkan Syifa
ke pondok pesantren karena tak sanggup membiayai. Bisa dibayangkan, di usia yang
masih sangat bergantung kepada orang tua, anak itu terpaksa berpisah dengan
ibunya. Syifa menolak, namun ibunya tak punya pilihan. Sejak tinggal di pondok,
anak itu menangis setiap malam. Setiap malam.
Saya bertemu anak ini pertama kali pada Bulan Februari, saat
saya ke pondok pasca kepergian Bapak. Anak itu mencuri perhatian saya ketika
membaca doa menjelang berbuka puasa. Sebagai anak baru, anak ini cukup cepat
menghafal doa-doa. Saya pun tertarik mendekati anak ini.
Layaknya anak usia tiga tahun, tingkah polah Syifa memang
sangat aktif dan sedikit susah diatur. Tidak ada raut sedih di wajah anak ini. Ada
satu hal yang saya ingat darinya. Saat makan bersama, saya mencoba menyuapi
Syifa dengan nasi box, dan dia bersedia dengan syarat. Dia hanya mau makan
sesuai dengan porsinya. Sayapun harus menyisihkan nasi dan lauk sesuai dengan
porsi yang dia minta, dan dia benar-benar menghabiskannya. Saat itu pasti Syifa
berpikir. Dia diajarkan untuk tidak boleh menyisakan makanan, dan dia sudah
mengira bahwa tidak mampu menghabiskan semua nasi boxnya. Akalnya mendorongnya
untuk menyisihkannya di depan, supaya tidak mubazir di belakang. Pikiran yang
cerdas untuk anak seusianya. Saya takjub.
Kehadiran Syifa di pondok membawa pelajaran tersendiri bagi
saya. Lagi-lagi pelajaran untuk tak hentinya bersyukur. Saya ditinggalkan oleh
Bapak di usia yang sudah cukup matang. Sedangkan Syifa dan anak-anak lain bahkan
ditinggal bapak mereka di usia yang masih sangat kecil, bahkan harus hidup mandiri
di pondok. Meski demikian, mereka tetap memperlihatkan raut wajah yang
sumringah. Mereka tetap semangat. Lantas
kenapa saya harus sedih? Setidaknya saya masih lebih beruntung, saya diberi
kesempatan untuk menikmati utuhnya keluarga selama 23 tahun. Mereka menularkan
semangat yang luar biasa untuk saya pribadi. Sedih memang manusiawi, karena
manusia tak bisa lepas dari segala musibah yang menjadi ujian. Tapi terlepas
dari itu, tetap masih banyak hal yang patut disyukuri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar